Selasa, 07 Juni 2011

arah kiblat


Pengukuran arah kiblat dapat dilakukan denga menggunakan berbagai alat. Ada beberapa alat yang dapat digunakan untuk melakukan pengukuran arah kiblat di suatu lokasi, antara lain :
1. Kompas magnetis
2. Bayang-Bayang Kiblat
3. Tongkat istiwa
4. Theodolite
5. Rubu' Mujayyab
6.  Sinar Matahari

Senin, 06 Juni 2011

Kaidah-kaidah Fikih

KAIDAH FIKIH DAN KAIDAH-KAIDAH LAIN

A.      Pengertian Kaidah Fikih
Diantara arti kaidah yang menunjukan arti asa yang konkret adalah firman Allah:
øŒÎ)ur ßìsùötƒ ÞO¿Ïdºtö/Î) yÏã#uqs)ø9$# z`ÏB ÏMøt7ø9$# ã@ŠÏè»yJóÎ)ur $uZ­/u ö@¬7s)s? !$¨YÏB ( y7¨RÎ) |MRr& ßìŠÏJ¡¡9$# ÞOŠÎ=yèø9$#
Artinya: dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui".
Sedangkan ulama fikih berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaidah adalah:
“aturan pada umumnya atau kebanyakan yang membawahhi bagian-bagianya untuk mengetahui hukum-hukum yang dicakupnya berdasarkan aturan umum tersebut”.
Pengertian kaidah fikih secara istilah adalah:
“patokan hukum dalam aturan yang bersifat pada umumnya; dari aturan tersebut dapat diketahui hukum-hukum sesuatu yang berada dibawah cakupannya”.
Kaidah fikih dibentuk dengan cara berfikir deduktif, yaitu ia dibentuk berdasarkan berbagai dalil yang kemudian dihubungkan dengan berbagai bab dan subab fikih sehingga ia memiliki cakupan yang luas
Prinsip dalam kaidah fikih adalah aglabiyat, aktsariyat, atau pada umumnya. Oleh karena itu, bila ada penyimpangan dari kaidah tersebut dianggap tidak dapat mengubah kaidah yang telah dibuat.


B.     Kaidah Fikih dan Dhabith Fikih
Ulama berbeda pendapat tentang kaidah dan dhabith:al-Nabulsi Al-Hanafi (w. 1143 H) dalam kitab Syarh al-Asybah wa al-Nazha’ ir mengatakan bahwa kaidah fikih sama dengan dhabith al-fiqh, yaitu:
“Aturan umum yang mencakup selutuh bagiannya”.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa kaidah fikih berbeda dhabith al-fiqh. Diantara mereka adalah al-Maqari al-Maliki, Abd al-Rahman Ibn Jad Allah al-Banani al-Maliki (w.1198 H), Ibn Nujaim, dan al-Suyuti. Mereka mengatakan bahwa:
“Kaidah tidak hanya berlaku pada bab fikih tertentu, berbeda dengan dhabith.
Perbedaan antara kaidah fikih dengan dhabith al-fiqh terletak pada cakupannya. Kaidah fikih mencakup banyak bab fikih, sedangkan dhabith al-fiqh hanya mencakup satu bab fikih tertentu.
Pada umunya, masing-masing bab memiliki dhabit. Salah satu dhabith fikih mu’amalah adalah:
“setiap hasil tanaman-baik sedikit maupun banyak, baik sawah tadah hujan maupun yang diairi dengan irigasi-harus dikeluarkan zakatnya sebesar sepersepuluh.”
Ali Ahmad al-Nadawi (1994) menjelaskan bahwa perbedaan antara kaidah fikih dengan dhabith fikih adalah:
1.      Kaidah fikih lebih umum daripada dhabith fikih, kaidah fikih mencakup banyak bab fikih, sedangkan dhabith fikih hanya mencakup salah satu bab atau bahkan mencakup salah satu bagian dari bab fikih.
2.      Dari segi penghadapan dengan furu’, dalam kaidah fikih lebih banyak dihadapkan kepada furu’ disbanding dengan dhabith fikih.
3.      Karena lebih banyak dihadapkan kepada furu’, dalam kaidah fikih terdapat lebih banyak syadz disbanding dengan dhabith fikih.
4.      Dalam kaidah fikih terdapat pengecualian-pengecualian (mustatsnayat), karena kaidah fikih bersifat pada umumnya, sedangkan dalam dhabith fikih belum ada penjelasanya mengenai ada tidaknya pengecualian.
Dengan demikian, diantara ulama, sebagai dikatakan Muhammad Shidiqi Ibn-Burn, ada yang membedakan kaidah fikih dan dhabith dari segi kesepakatan al-ittifaq atau al-ijma’ ulama dari berbagai mazhab untuk menggunakan ugeran tersebut.

C.    Kaidah Fikih dan Nazhariyat Fikih
Hakikat nazhariyat adalah rukun, syarat, dan hukum. Oleh karena itu, nazhariyat adalah pembahasan mengenai salah satu tema atau topic fikih secara terperinci.
Perbedaan antara kaidah fikih dan nazhariyat fikih adalah sebagai berikut:
1.      Cakupan kaidah fikih sangat luas, sedangkan nazhariyat fikih hanya mencakup bab fikih tertentu. Darise gi ini nazhariyat fikih sama dengan dhabith fikih.
2.      Secara redaksional, kaidah fikih sangat singkat dan maknanya lebih umum dibandingkan dengan nazhariyat fikih.
3.      Setiap kaidah fikih mencakup nazhariyat fikih dan sebaliknya.
4.      Pembahasan nazhariyat fikih tidak memerlukan pemikiran lebih lanjut, sedangkan kaidah fikih memerlukan pembahasan lebih detail.
5.      Kaidah fikih tidak mencakup rukun, syarat, dan hukum. Sedangkan nazhariyat fikih tidak menetapkan hukum
6.      Kaidah fikih menetapkan hukum dengan sendirinya, sedangkan nazhariyat tidak menetapkan hukum.
7.      Nazhariyat fikih memerlukan pengembangan dari kaidah.

D.    Kaidah Fikih dan Kaidah Ushul Fikih
Perbedaan antara kaidah fikih dengan kaidah ushul fikih sebagaimana dijeaskan oleh Ali Ahmad al-Nadawi-adalah:
1.      Kaidah ushul fikih-apabila-dihunungkan dengan fikih merupakan timbangan (al-mizan) dan patokan (al-dhabith) untuk melakukan istinbath hukum secara benar; dari sini kita dapat mengetahui objek kaidah fikih dan objek kaidah ushul fikih; objek kaidah fikih adalah perbuatan (fi’ al-mukalaf); sedangkan objek kaidah ushul fikih adalah “dalil” hukum.
2.      Kaidah fikih bersifat aglabiyat (pada umumnya). Karena itu, dalam kaidah fikih terdapat mustatsnayat (pengecualian). Sedangkan kaidah ushul fikih adalah kaidah kaidah yang diterapkan pada semua bagianya;
3.      Kaidah ushul fikih adalah media untuk mengistinbatkan hukum syara’ amaliyat, sedangkan kaidah ushul fikih adalah kumpulan hukum yang ‘illat-nya sama.
E.     Kaidah Fikih dan Al-Furuq
Secara bahasa al-furuq berakar pada kata al-farq yang artinya adalah al-fashl (pisah, kelas, panggalan, atau beda). Untuk memperjelas salah satu rujukan kita dapat menjadikan Al-Qur’an surat Al-Baqarah sebagai rujukan.
ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4……….. ÇÊÑÎÈ  
Artinya :  (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil…………..
Dalam ayat tersebut kata al furqan yang ditafsirkan oleh ulama sebagai pembeda atau pemisah antara kebenaran dan kebatilan.
Secara lebih sederhana, perbedaan antara kaidah fikih dengan al-furuq adalah:
1.      Kaidah fikih mengutamakan kesamaan atau keserupaan, sedangkan al-furuq lebih mengutamakan dan bahkan kajiannya terfokus pada perbedaan.
2.      Kaidah fikih memerlukan pembahasan yang lebih lanjut, sedangkan al-furuq merupakan pembahasan final dalam menyelesaikan suatu masalah.
3.      Dalam kaidah fikih terdapat penegecualian-pengecualian, sedangkan al-furuq tidak ada pengecualian.


KAIDAH FIKIH: ARTI PENTING,
KEGUNAAN DAN KEDUDUKAN
A.      Arti penting Kaidah Fikih
Kaidah fikih merupakan bagian dari studi fikih. Bagi peminat hukum islam, mempelajari seluruh hal yang berkaitan dengan hukum islam, yaitu al-Qur’an dan Sunah sebagai sumber hukum yang disepakati. Kaidah fikih dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang telah terjadi dan mungkin belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
B.       Kegunaan Kaidah Fikih
Kegunaan kaidah fikih bagi peminat hukum islam, sebagai dijelaskan oleh Ali Ahmad al-Nadawi (a994) adalah:
1.      Mempermudah dalam menguasai materi hukum, karena kaidah telah dijadikan patokan yang mencakup banyak persoalan.
2.      Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan, karena kaidah fikih dapat mengelompokan persoalan-persoalan berdasarkan ‘illat yang dikandungnya.
3.      Mendidik orang yang berbakat fikih dalam melakukan analog (ilhaq) dan takhrij untuk mengetahui hukum permasalahan-permasalahan baru.
4.      Mempermudah orang yang berbakat fikih mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic tertentu.
5.      Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukan bahwa hukum dibentuk untuk menegakan maslahat yang saling berdekatan atau menegakan maslahat yang lebih besar.
6.      Pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.

C.      Kedudukan Kaidah Fikih
1.      Kaidah fikih sebabgi dalil pelengkap
Para ulama sepakat tentang dalail kebolehan menjadikan kaidah fikih sebagai dalail pelengkap.
Kaidah fikih yang digunakan sebagai dasar pertimbangan keputusan diambil dari kitab I’anat al-Thalibin, J. III (h.224), kaidah tersebut adalah:
“pihak yang mewarisi dari pihak laki-laki adalah sepuluh, yaitu anak, cucu…., pihak yang mewarisi dari pihak permpuan adalah tujuh, yaitu anak perempuan, cucu perempuan..”
2.      Kaidah fikih sebagai dalil mandiri
Ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fikih sebagai dalail hukum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa fikih boleh dijadikan dalail mandiri.[1]

D.      Kedudukan Kaidah Fikih Dalam Konteks Studi Fikih
Kedudukan kaidah fikih dalam konteks studi fikih adalah simpul penyederhanaan dari masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Oleh karena itu, ulama iantaranya al-Syaikh Ahmad Ibn al-Syaikh Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut:
“kalau saja tidak ada kaidah fikih ini, hukum fikih yang bersifat fiqhiyyat akan tetap berceari berai”


SEJARAH DAN PEMBAGIAN KAIDAH FIKIH

A.      Sejarah kaidah Fikih
1.      Fase pertumbuhan dan pembentukan (abad 1-3 H)
Kaidah fikih pada masa ini mencapai puncak kejayaan. Ciri khas yang dominan adalah jawami al-kalim (kalimatnya ringkas tapi cakupan maknanya sangat luas). Atas dasar tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fikih.
Salah satu sabda nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fikih adalah:
“pajak itu disertai imbalan jaminan”
Sulaiman Ahmad Ibn Muhammad al-khuthabi al-Busthi (w. 388H) yang banyak membentuk kaidah-kaidah fikih dalam kitabnya, ma’alim al-sunan. Dianatarnya adalah:
“Keraguan tidak mengurangi keyakinan”[2]
2.      Fase perkembangan dan kodifikasi
Pada jaman ini dikenal dengan nama taqlid.[3] Sebagian besar ulama melakukan tarjib pendapat iamm mazhabnya masing-masing. Yang dilakukan mazhab adalah ilhaq (melakukan analogi atau qiyas).
Menurut Ibn Khaldun, ketika mazhab tiap imam fikih menjadi ilmu khusus bagi para pengikutnya dan tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad, ulama melakukan tandzir (penyamaan) maslah-masalha untuk dihubungkan serta memilahnya ketika terjadi ketidakjelasan setelah menyederhanakannya kepada dasar-dasar tertentu dari mazhab merekea.
Dengan cara tandzir dan isytihah (dipilah), fikih dikemabngkan. Kemudian ulama meletakan cara-cara baru dalam ilmu fikih yang disebut al-qawaid, al-dhawahith, atau al-furuq.


3.      Fase Kematangan dan Penyempurnaan
Pada jaman ini sekalipun dikatakan sebagai aliran yang mengalami stagnasi, tidak berarti dalam aliran ini tidak terdapat pengembang kaidah fikih sama sekali.
Abad X H, dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fikih. Meskipun demikian bukan berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fikih pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H, aadalah:
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain kecuali ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznib menjadi izdn. Oleh karena itu, kaidah fikih tersebut adalah:
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain kecuali ada izin”

B.       Sumber-Sumber Kaidah Fikih
1.      Buku-buku kaidah fikih Hanafiah
a.       Usuhul al-Karkhi karya al-Karkhi (260-340)
b.      Ta’sis al-Nazhar karya Abu Zaid al-Dabusi (w.430 H)
c.       Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Ibn Nujaim (w. 970 H)
d.      Qawa’id al_fiqh karya Mujaddidi (?)
2.      Buku-buku kaidah fikih Malikiah
a.       Ushul al-Futiya karya Muhammad Ibn Haris al-Husyni (w.361 H)
b.      Al-furuq karya al-Qurafi (w.684 H)
c.       Al-Qawaid karya al-Maqqari (w.758 H)
d.      Idhah al-Masalik ila qawa’id al-Imam malik
karya winsyarisi (w.914 H)
3.      Buku-buku kaidah fikih Syafi’iah
a.       Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam Karya Ibn’ Abd al-salam (w.660 H)
b.      Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Ibn wakil (w. 716 H)
c.       Al-Majmu’ al-Mudzhah fi Qawa’id al-Mazdhab karya al-Ala’I (w.716 H)
d.      Mukhtashar al-Qawa’ia karya al-Ala’i
e.       Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Taj al-Din al-Subki (w. 771 H)
f.       Al-Mantsur fi al-Qawa’id karya al-Zarkasyi (w. 794 H)
g.      Al-Qaw’id karya Tal-Din al-Husni (w.829 H)
h.      Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Jalal al-Din al-Suyi (w. 911 H)
4.      Buku-buku kaidah fikih Hanabilah
a.       Al-Qawa’id al-Nuruniyyat al-Fiqhiyyat karya Ibn Taimiah (w. 728 H)
b.      Al-Qawa’id al-Fiqhiyyat dinisbatkan kepada Ibn Qadhi al-Jabal (w.771 H)
c.       Al-Qawa’id karya Ibn Rajab (w.795 H)
d.      Al-Qawa’id al-Kuliyyat wa al-Dhawabit al-Fiqhiyyat karya Ibn ‘Abd al-Hadi (w.909)
e.       Qawa’id majallat al-Ahkam al-Syariyyat‘ala Madzhab al-Imam Ahmad Ibn Hanbal karya Ahmad al_qari (w.1359 H)

C.      Pembagian Kaidah Fikih
1.      Pembagian Kaidah fikih dari segi fungsi
Dibedakan menjadi dua yaitu: sentral dan marginal. Kaidah fikih yang berperan sebagai sentral karena kidah tersebut memilliki cakupan yang begitu luas sehingga nayak furu’ yang dihadapkan kepadanya. Sedangkan kaidah fikih yang berperan sebagai marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan kepada banyak furu’.
2.      Pembagian Kaidah fikih dari segi mustasnayat
Kaidah fikih dapat dibedakan menjadi dua: kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan kaidah yang mempunyai pengecualian.
Kaidah fikih yang tidak memiliki pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kaidah fikih yang mempunyai pengecualian, karena menurut sifatnya, ia bersifat pada umumnya, tapi hakekat kaidah fikih tersebut menunjukan bahwa kemungkinan adanya pengecualian sangat kecil.
3.      Pembagian Kaidah fikih dari segi kualitas
a.       Kaidah kunci
Bahwa seluruh kaidah fikih, pada dasarnya dapat dikembalikan kapada satu kaidah, yaitu:
“menolak kemafsadatan dan mendapatkan mashlahat”.
b.      Kaidah asasi
Kaidah fikih yang tingkat kesahihanya diakui oleh seluruh aliran hukum islam.
c.       Kaidah fikih yang diterima oleh semua aliran hukum Sunni
Kaidah fikih yang diterima oleh semua aliran hukum Sunni adalah Majallat al-Ahkam al-Adliyyat.
d.      Kaidah fikih yang di-Ikhtilafkan-kan dikalangan Sunni
Kaidah yang diterima oleh mazhab tertentu tapi ditolak oleh mazhab yang lain. Ikhtilaf tersebut dapat dilihat pada kasus sewa dan pembayaran kerusakan bagi hanafiah dan syafi’iyah.
e.       Kaidah fikih yang di-Ikhtilafkan-kan ulama yang sealiran


PENJELASAN KAIDAH-KAIDAH ASASI

A.      Perbedaan Kaidah Asasi
Terdapat perbedaan sedikit antara ulama syafi’I dan ulama hanafi dalam menetukan kaidah asasi. Dalam kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir ‘ala Mazdhab Abi hanifah al-Nu’man karya Zain al-‘Abidin Ibn Nujaim (1968) dikatakan bahwa kaidah asasi adalah:[4]
“tidak ada pahala bagi pekerjaan yang dilakukan tidak dengan niat”.
“setiap perkara tergantung pada niatnya”
B.       Kaidah Fikih tentang Niat
1.      Pengertian niat
Secara bahasa niat berarti maksud (al-Qashd).[5] Sedangkan secara istilah niat, yang dimaksud dengan niat adalah adalah:[6]
“termasuk mengerjakan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya”
2.      Kaidah-kaidah niat
Aliran hanafi menggunakan dua kaidah asasi yang berkenaan dengan niatnya, yaitu:
“tidak ada pahala bagi pekerjaan yang dilakukan tidak dengan niat”[7]
“setiap perkara bergantung pada niatnya”[8]
3.      Tujuan niat
Tujuan terpenting disyari’atkannya niat adalah untuk membedakan antara ibadah dengan adat (kebiasaan), dan untuk membedakan tingkat ibadah antara yang satu dengan lainnya.[9] Seseorang yang tinggal di masjid memiliki dua kemungkinan yaitu I’tikaf atau menumpang istirahat.
4.      Tempat niat
Karena hakikat niat adalah bermaksud atau menyengaja, tempatnya adalah didalam hati. Menurut pendapat lain niat adalah bermaksud didalam hati dan dibarengi dengan perbuatan.
5.      Waktu niat
a.       Malikiyah berpendapat bahwa mendahulukan niat untuk bersuci adalah boleh. Seedangkan yang lainnya berpendapat bahwa niat bersuci dan shalat harus berbarengan, tidak boleh diawal atau diakhir.
b.      Niat zakat boleh dilakukan sebelum benda xakat diserahkan (pendapat ulama jumhur).

6.      Syarat niat
a.       Islam
b.      Tamyiz
c.       Al-‘ilm bi al-manwi
d.      Al-la ya’ti bi manaf.

C.      Kaidah Fikih Tentang Keyakinan dan Keraguan
Dasar-dasar kaidah
Kaidah keyakinan dan keraguan berdasarkan kepada beberapa hadits. Antara lain yang diriwayatkan imam muslim dan abu hurairah, nabi bersabda:
“apabila perut seseorang terasa mulas, kemudian da ragu: apakah dia kentut atau tidak; jangan keluar dari masjid sebelum mendengar atau merasakan kentut”.

D.      Kaidah Tentang Kesulitan dan Kemudahan
1.      Penjelasan kaidah
Secara bahasa almasyaqqat berarti al-ta’b (kelelahan, kepenatan, dan keletihan), sedangkan arti terminology kata al-tasyir adalah al-subulat (gampang, mudah, dan ringan) dan al-luyunat (mudah, lunak, dan halus).[10]
Adapun makna terminology kaidah asasi ketiga diatas adalah:[11]
“hukum yang praktiknya menyulitkan mukalaf, dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga beban tersebut berada dibawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.



2.      Dasar-dasar kaidah
Adapun ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar kaidah asasi ketiga adalah:
…………. ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# ……. ÇÊÑÎÈ  
……….. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. …………

߃̍ムª!$# br& y#Ïeÿsƒä öNä3Ytã 4 ………….. ÇËÑÈ  
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu……………..
Bebarapa hadits yang menjadi dasar kaidah asasi ketiga adalah nabi Muhammad bersabda:
“Aku diutus dengan membawa ajaran yang benar dan mudah”
3.      Hubungan kaidah asasi ketiga dengan Rukhshat
Secara bahasa rukhshat adalah:[12]
“keringanan dalam mengerjakan suatu urusan”
Rukhshat meruapakan hukum alternative, oleh karena itu rukhshah bukan merupakan hukum penyimpangan.
4.      Sebab, Bentuk dan Hukum rukhshat
Sebab-sebab Rukhshat:
1.      Melakukan perjalanan
2.      Sakit
3.      Terpaksa
4.      Lupa
5.      Ketidaktahuan
6.      kesulitan


E.       Kaidah Tentang Eliminasi Kesulitan
1.      Dasar kaidah
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r&  Æèdqä3Å¡øBr'sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& £`èdqãmÎhŽ|  7$rã÷èoÿÏ3 4 Ÿwur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y#uŽÅÑ (#rßtF÷ètGÏj9 4 ……………… ÇËÌÊÈ  
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka…….




[1] Ali Ahmad al-Nadawi, al-qawa’id al-Fiqhiyah: Mafhumuba, Nasy’atuba, Tathawuruba, Dirasah Mu’alifatiba, adilatuba, Mubimmatuba, Tathbiq-atuba, Damaskus: Dar al-Qalam, 1994. hlm 329-330
[2] Al-syaikh ahmad Ibn al-Syaikh Muhammad al-Zarqa dalam kitabnya, syarh al-Qawaid al-Fiqhiyah, Damaskus : Dar al-Qalam, 1989, hlm 105
[3] Muhib Allah Ibn Abd al-syukur, fawatih al-Rahmut Beirut: dar al-Fikr, t.th, hlm 400
[4] Zain al-‘Abidin Ibn Nujaim,  al-Asybah wa al-Nazha’ir ‘ala Mazdhab Abi hanifah al-Nu’man Kairo: Mu’Assasah al-halabi wa Syirkah, 1968, hlm 6
[5] Abi Ishaq Ibn Ibrahim Ibn Ali Ibn Yusuf al-Firuz Abadi al-Syirazi, al-Muhadzdzab fi fiqh Mazdhab al-Imam al-Syafi’I, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, hlm 22
[6] Ibrahim al-bajuri, Hasiyat al-bajuri, Semarang: usaha Keluarga, t.th. J.I. hlm 47
[7] Ibid.
[8] Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-suyuthi, op.cit, hlm 37
[9] Abd Allah Ibn Sa’id Muhammad ‘Ibadi al-Lahji al-Hadhramial-Syahari, Op.cit hlm 13 dan muhamad Shidqi Ibn Ahmad al-Burnu, po.cit hlm 491.
[10] Muhamad Shidiq Ibn al-Burnu, loc cit hlm 129
[11] Ibid, hlm 130
[12] Husayn khalaf al-Jabburi, ahkam al-Rukhshat fi al-syari’at al-Islamiyah,  Makka : maktabah al-Manarah, 1998. hlm 11
download